Selamat Datang di Notebook Sharie

Selasa, 28 Juni 2016

[Review] Les Masques - Indah Hanaco




Judul              : Les Masques
Penulis             : Indah Hanaco
Editor             : Anin Patrajuangga
Penerbit           : PT Grasindo
Terbit             : 25 Maret 2014
Tebal              : 240 Halaman
ISBN              : 9786022514657



Blurb
Fleur Radella, lahir karena kebuasan hasrat yang tak bisa ditolak.
Elektra Valerius, jiwa berani yang terpaksa bersemayam di tubuh yang salah.
Tatum Honora, gadis pemurung yang tercipta karena ketidakmampuan manusia menundukkan diri sendiri.
Semua yang di mulai di masa lalu, tak seharusnya menjadi hantu yang menempel tanpa pengampunan. Lalu Adam Dewatra hadir. Menggenapi jejak horror masa lampau.

“Empat jiwa. Satu cinta. Ribuan kekelaman masa lampau.”

Fleur Radella, gadis berusia 16 tahun tinggal bersama neneknya, Marini, yang berprofesi sebagai seorang dokter. Sayangnya, Marini tidak pernah menyanyangi Fleur, bahkan dia selalu memandang Fleur sebagai seorang penjahat. Hanya Nana, asisten rumah tangga dan pengasuh yang sering dia panggil “bude”, yang selalu memberi kasih sayang dan melindungi Fleur dari kemarahan Marini. Kehidupan Fleur berubah ketika dia memenangi sebuah kontes cover girl di sebuah majalah. Padahal dia tidak merasa pernah mempunyai kepercayaan diri sebagai seorang model majalah.

“Bagaimana bisa dia melupakan hal-hal yang penting? Kenapa dia tidak bisa mengingat saat datang ke kantor redaksi majalah Dara dan menjalani wawancara singkat dan sesi foto?” (Hal.7)

Elektra Valerius, gadis yang sangat belia, yang selalu terdorong untuk melindungi Fleur. Dia sering merasa geram melihat Fleur yang lemah dan selalu menuruti kemauan orang lain, terutama Marini. Dengan keberaniannya, Elektra menolong Fleur saat gadis itu memerlukan bantuan. Karena keibaannya, Elektra selalu ikut campur di kehidupan Fleur, bahkan dia juga yang turun tangan membantu Fleur memenangkan lomba model tersebut.

Tatum honora, gadis yang lebih muda dibandingkan Fleur dan Elektra. Namun, ia bisa menjadi lebih “kolot” dan lebih pendiam dibandingkan kedua temannya itu. Tatum selalu bersitegang dengan Elektra yang selalu mencampuri kehidupan Fleur. Bahkan Tatum menolak mati-matian saat Elektra berencana membantu Fleur mengikuti kontes model.

“Kamu selalu terburu-buru kalau mau mengambil keputusan. Nggak pernah mikirn akibatnya.” (Hal.32)

Adam Dewatra, lelaki pemilik suara bariton, ternyata adalah saudara Elektra dan Tatum. Mereka baru menyadari sosok Adam saat keduanya akan membantu Fleur menyelesaikan masalah di masa lalunya. Sebenarnya, Adam juga sudah pernah membantu Fleur satu kali saat Fleur berada di pesta ulang tahun Charlie, namun dia bersembunyi agar Fleur tidak menyadarinya.

”Aku memang sengaja sembunyi. Aku nggak mau kalian melihatku.” (Hal.231)

***

Ini adalah karya kelima dari Indah Hanaco yang saya baca, dan saya sungguh terkejut dalam artian yang positif. Saya tidak menyangka bahwa penulis berani membuat karya dengan genre yang berbeda dibandingkan karya lainnya. Sepertinya penulis menantang dirinya sendiri untuk keluar dari zona amannya, dan usahanya itu menurut saya sangat berhasil. I appreciate it.

            Dari awal, sejak sosok Elektra muncul dicerita, saya sudah menebak genre psikologis yang dibuat penulis. Karena saya sudah pernah membaca novel yang sejenis. Mirip-mirip “24 wajah Billy” lah. Tetapi, kepribadian di novel ini tidak sebanyak novel tersebut. Walapun begitu, saya tetap salut dengan penulis, tidak menyangka ada penulis Indonesia yang membuat novel seperti ini.

            Diceritakan dengan menggunakan alur maju dan mundur cantik. Hehehe.. Saya tak henti-hentinya dibuat kagum. Bagaimana penulis memberikan sedikit demi sedikit potongan puzzle dalam masa lalu Fleur yang kelam, sampai akhirnya menjadi utuh. Fakta-fakta yang membuat saya terkejut. Jujur, saya tidak menyangka bahwa sosok-sosok terdekat di kehidupan Fleur, yang seharusnya menjaganya, ternyata sangat tidak berprikemanusiaan.


“Nggak perlu minta maaf, Fleur! Tapi dulu kita memang punya permainan favorit. Om bahkan belum bisa lupa sampai sekarang. Siapa tahu, nanti suatu saat kamu bisa ingat. Namanya Heaven.” (Hal. 227)

Untuk penokohan, saya suka sekali dengan sosok Nana dan Elektra. Keduanya adalah sosok yang sangat menyayangi Fleur, dan tak segan-segan membela Fleur bila dia sedang dilanda masalah. Mereka juga sangat mengetahui apa yang dialami Fleur di masa lalunya. Dan saya sangat bersyukur, ternyata Fleur masih mempunyai orang-orang terdekat yang benar-benar tulus menyayanginya. Di beberapa kesempatan saya kadang suka gemes dengan tingkah laku Elektra, apalagi saat dia sedang bersama dengan Tatum, bagaimana Elektra memyombongkan dirinya yang mahir berbahasa Perancis. Sayangnya Elektra tanpa sengaja menjadi pemicu masalah besar yang dialami oleh Fleur. Dan saya bersyukur, tanpa masalah tersebut Fleur tidak akan mengingat masa lalunya.


“Soal Enrico, kita nggak sepakat. Kamu yang udah membuat ulah. Kamu yang udah mengganti tempat liburan Fleur, dari London malah menjadi Paris. Kamu juga yang keluar diam-diam dari kamar hotel dan malah berpesta liar. Kamu yang membuat Fleur terlibat masalah besar. Maafkan aku, tapi kamu udah bikin hancur segalanya. Terutama soal Enrico…” (Hal. 230)

Walaupun tema yang diangkat sangat berat untuk sebagian besar penggemar Indah Hanaco, namun saya alhamdulillah tidak mengalami hal tersebut. Saya sangat menikmati halaman per halaman, tanpa mengernyitkan dahi (beneran deh, suer). Karena penulis membawakannya dengan sangat renyah. Saya tidak ragu-ragu memberikan lima bintang untuk novel ini, karena novel ini adalah karya Indah Hanaco yang paling mencekam, paling seru dan menjadi favorit saya.

Saya akan selalu menunggu kejutan lain dari Indah Hanaco, genre crime & detective maybe? Hahaha…


Baby you’re all that I want
When you’re lying here in my arms
I’m finding it hard to believe
We’re in heaven
And love is all that I need
And I found it there in your heart
It isn’t too hard to see
We’re in heaven






Senin, 20 Juni 2016

[Review] Malam-Malam Terang




Judul              : Malam-Malam Terang
Penulis            : Tasniem Fauzia Rais dan Ridho Rahmadi
Editor             : Donna Widjajanto
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit              : Desember 2015
Tebal               : 246 Halaman
ISBN              : 978-602-032-454-8


“…jadikan kegagalan sahabat setiamu. Bukan berarti kamu harus selalu gagal, namun ketika kegagalan datang, sambutlah ia sebagai sahabat. Mengapa? Karena kegagalan adalah cermin yang mengingatkan kita untuk berusaha lebih baik. Tanpa cermin itu kita tidak bisa melihat diri sendiri, tidak bisa mengevaluasi diri.” (Hal. 66)


EBTANAS (sekarang dikenal dengan UN) selalu menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seluruh siswa yang berada di tahun terakhir di tingkatannya. Bagaimana nasib seorang siswa ditentukan dengan nilai yang dia dapat saat ujian yang berlangsung selama seminggu. Padahal belajar itu adalah suatu proses, yang tidak bisa dinilai dengan instan.

Tasniem, salah satu siswa SMP di Jogja juga merasakan bagaimana EBTANAS merenggut impiannya. Dia gagal mendapatkan nilai yang cukup untuk melanjutkan pendidikan ke SMA favoritnya. Kegagalan yang membuatnya mengurung diri di kamar sampai beberapa hari, tidak berbicara dengan kedua orangtuanya, dan bahkan malu untuk bertemu dengan teman-temannya.


Sampai suatu hari, Tasniem memutuskan untuk merantau. Dia ingin melanjutkan sekolahnya di Singapura. Keputusan yang akhirnya disetujui oleh kedua orang tuanya.



Bersekolah di negeri orang ternyata tidaklah mudah bagi Tasniem. Sama seperti yang dialami banyak orang, dia mengalami yang namanya homesick, tidak percaya diri, dan menghindari berbicara dengan orang lain (karena Tasniem merasa kemampuan bahasa Inggrisnya kurang lancar).

Sekolah di Singapura juga tidak menjadikan Tasniem tidak merasakan kegagalan lagi. Dia bahkan pernah gagal di ujian komputer. Kegagalan yang didapat karena dia ceroboh membaca instruksi di soal ujian.

Yang saya suka dari diri Tasniem adalah kegigihannya untuk mencapai sesuatu. Bagaimana Tasniem selalu menggunakan kekurangan dan kegagalannya sebagai cambuk untuk memperbaiki diri. Seperti bagaimana cara dia memperlancar bahasa Inggrisnya (bisa kita menjadikannya tips), yaitu selalu menjinjing kamus tebal Oxford, menuliskan kata-kata baru dalam bahasa Inggris dalam buku khusus, menonton film tanpa terjemahan, membaca berita di situs berbahasa Inggris dan mendengarkan lagu-lagu barat.

Kisah Tasniem ini juga mengajarkan bahwa perbedaan tidak seharusnya menjadi permusuhan. diceritakan bagaimana persahabatab antara Tasniem dengan ketiga temannya, yang berasal dari negara yang berbeda dan memiliki keyakinan yang berbeda juga. walaupun mereka berbeda, merela saling menghormati. bagaimana ketiga temannya itu tidak menyalakan musik terlalu keras atau mondar-mandir saat Tasniem sedang shalat. bagaimana mereka saling membantu dan menguatkan saat Angelina, salah satu teman Tasniem, mencari bapaknya di Malaysia. Dan bagaimana mereka belajar bersama-sama untuk menghadapi ujian akhir.


“Sekalipun berbeda, kami punya bahasa yang sama. Bahasa toleransi. Bahasa yang membuat kami saling mengerti, tanpa banyak kata-kata.” (Hal. 197)


Bagian yang buat saya terharu adalah saat Tasniem memberikan sepatah-dua patah kata di podium. Bagaimana dia membuat bangga kedua orangtuanya, yang saya tahu itu sulit. Bahkan saya sendiri belum bisa membuat bangga kedua orang tua saya.

Diceritakan dengan POV orang ketiga, penulis benar-benar membawa kita merasakan semua yang dialami oleh Tasniem. Tidak ada kesan monoton -yang sering saya temukan saat membaca sebuah buku tentang perjalanan hidup seseorang- penulis membawakan kisahnya seru, mengalir begitu saja.

Hanya satu kekurangan buku ini, dari pihak penerbitan, yaitu kavernya yang menurut saya kurang menarik. Apalagi di tiap halaman bab, kertasnya diberi warna hitam (seperti fotokopian). Selain itu tidak ada bookmarknya.

Overall, Buku malam-malam terang ini sangat inspiratif, dan rekomen dibaca oleh semua orang.











Rabu, 15 Juni 2016

[Resensi] Not A Perfect Wedding


Judul           : Not A Perfect Wedding
Penulis         : Asri Tahir
Editor          : Afrianty P. Pardede
Penerbit       : PT Elex Media Komputindo
Terbit          : 2015
Tebal           : 312 Halaman
ISBN           : 978-602-02-5897-3



BLURB

Raina Winatama
Di hari pernikahanku, aku kehilangan mempelaiku. Bukan karena dia melarikan diri. Tapi dia pergi untuk selamanya.

Prakarsa Dwi Rahardi
Di hari pernikahanku, aku kehilangan mempelaiku. Bukan kerena dia melarikan diri. Tapi aku harus pergi untuk selamanya.

Pramudya Eka Rahardi
Di hari pernikahan adikku, aku harus menjadi mempelai laki-laki. Menjalankan sebuah pernikahan yang harusnya dilakukan oleh adikku, Prakarsa Dwi Rahardi.




Takdir, memisahkan Raina dengan Raka. Namun takdir juga yang mempertemukan Raina dengan Pram.

”Atas nama takdir, terkadang manusia bersembunyi dengan rasa takutnya. Menyalahkan keadaan sebagai rasa pelariannya. Untuk mereka yang percaya takdir, sang sutradara selalu menyimpan kisah manis untukmu, meski dengan cara berliku.”

Raina kehilangan Raka, orang yang sangat dicintainya dan calon imamnya, tepat sehari sebelum acara pernikahannya. Sebelum pergi, Raka menitipkan Raina kepada Pram, kakak satu-satunya yang baru datang dari London. Raka meminta Pram untuk menikahi Raina. Permintaan yang dengan berat hati dikabulkan oleh Pram. Raina tidak tahu dengan rencana tersebut, sampai akhirnya dia melihat sendiri bahwa lelaki yang dihadapannya, yang telah melafalkan ijab kabul, bukanlah Raka.

“Tuhan, kenapa takdir ini yang kamu pilihkan untukku?” (Hal.47)

Di awal pernikahan, Pram selalu mengalah dan sebisa mungkin mengerti perasaan Raina yang sedang berduka. Bukan layaknya hubungan suami-istri, tapi hubungan yang menyerupai kakak-adik. Namun seiring waktu, Raina mulai berdamai dengan kesedihannya. Dia mulai menerima Pram sebagai suaminya. Di saat Raina mulai mencintai Pram, hadir seseorang dari masa lalu Pram yang mulai mengganggu kehidupan pernikahan dirinya dan Pram. Apakah dia harus mempertahankan atau melepaskan Pram untuk bahagia bersama Sashi?

 ***
Ini pertama kali saya membaca karya Asri Tahir. Saya sangat menikmati alur cerita dan gaya bahasa Asri dari lembar pertama. Novel Not A Perfect Wedding  ini menjadi salah satu novel dari seri Le Marriage Elex yang bertemakan tentang pernikahan. Tema yang diangkat penulis cukup unik. Bagaimana pernikahan yang awalnya dilandasi oleh keterpaksaan karena rasa kehilangan dan menepati sebuah janji, menjadi pernikahan yang mulai dilandasi cinta.
Novel ini juga menceritakan bagaimana sebuah pernikahan berjalan manis, tak jarang banyak kerikil yang muncul untuk menguji sekuat apa pernikahan tersebut.
Dari segi penokohan, saya suka sekali sosok Pram yang dewasa, yang selalu bisa memahami sifat manja dan kekanakan dari Raina. Bagaimana Pram selalu berusaha menjaga Raina dan mempertahankan pernikahannya. Tak jarang Pram menunjukan sisi yang romantis, yang kadang membuat Raina “klepek-klepek”. Sosok yang ideal banget deh Pram ini :*
Untuk sosok Raina, saya agak gemes dengan dirinya. Menurut saya, Raina sangat cengeng dan manja, padahal Raina diceritakan sudah berumur 25 tahun dan merupakan seorang guru.
Walaupun secara keseluruhan novel ini bercerita tentang hubungan pernikahan antara Raina dan Pram, namun ada beberapa tokoh yang dibuat oleh penulis yang cukup memberikan warna pada novel ini. Mereka adalah Armand dan Pasha. Keduanya adalah kakak laki-laki Raina yang selalu usil.
Penulis menggunakan POV orang ketiga untuk menceritakan masa kini, dan POV orang pertama saat flashback saat menceritakan masa lalu Pram.

Overall, novel ini sangat mengasyikan dibaca oleh pembaca yang ingin mengetahui bagaimana serunya sebuah pernikahan.




Sabtu, 11 Juni 2016

[RESENSI] Delicious Marriage


Judul            : Delicious Marriage
Penulis         : Indah Hanaco
Penyunting   : Anin Patrajuangga
Penerbit       : PT Grasindo
Terbit          : Februari 2016
Tebal           : 234 Halaman
ISBN           : 978-602-375-347-5


Milly Regitha, seorang Bridal Consultant sejak empat bulan yang lalu selalu dibuat kesal dengan kehadiran Keith Bertram, lelaki berdarah campuran Indonesia-Irlandia yang mempunyai mata heterochromia, kedua matanya berbeda warna. 

“Padamu, ya. Mana mungkin aku bisa percaya sama laki-laki yang di pertemuan pertama sudah mengajakku makan malam. Kau punya banyak pengagum, tapi aku nggak termasuk di dalamnya. Satu lagi, seorang playboy tetaplah playboy. Mungkin saat ini kau Cuma bosan. Kebiasaan yang sudah mendarah daging nggak akan pernah benar-benar hilang.” (Hal. 5)

Keith selalu menghampiri Milly di Maharani, toko tempatnya bekerja. Walaupun sering tidak diacuhkan oleh Milly, Keith tidak gentar. Dia merasa Milly adalah perempuan yang berbeda dibandingkan dengan perempuan lainnya yang pernah dikenalnya. Sampai suatu hari Keith tersinggung dengan ucapan Milly, dan berjanji tidak akan mengejar-ngejar Milly lagi.

Selama dua bulan Milly merasa kehilangan sosok Keith yang terbiasa hadir di kehidupannya. Milly mulai rindu dengan Keith. Akhirnya Milly menghampiri Keith ke Primary, coffe shop milik Keith yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya.

“Kadang kita terlalu takut dengan risiko. Padahal, apa sih yang nggak ada risikonya di dunia ini? Makan pun tetap nggak bisa bebas dari risiko. Kita bisa tersedak atau menggigit lidah karena terlalu bersemangat saat mengunyah. Yang penting jangan lupa bahagia.” (Hal. 55)

“Kau sendiri yang bilang nggak mau berkencan. Kau pengin menikah. Jadi, aku akan mengabulkan keinginanmu. Kita menikah saja ya, Milly?” (Hal. 59)

Tidak disangka-sangka, Keith langsung melamar Milly saat perempuan itu menghampiri dirinya. Dan lebih bahagia lagi saat Milly menerima pinangannya. Pernikahan itu tidak berjalan mulus. Ibunya Milly dan Rachel, kakak perempuan Keith, menjadi pihak yang tidak menyetujui pernikahan tersebut. Bahkan Rachel melakukan berbagai cara untuk memisahkan Keith dengan Milly. Selain itu, banyak pihak lain yang hadir di kehidupan pernikahan Milly dan Keith, yang memperkeruh keadaan. 

***
Ini pertama kalinya saya membaca karya Indah Hanaco. Sesuai tagline yang ada di kavernya, “Sentuhanmu menyesap luka…” , novel ini menceritakan manis dan pahitnya suatu pernikahan. Walaupun tema yang diangkat cukup berat, namun penulis menceritakannya dengan sangat “renyah”. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan novel setebal 234 halaman ini.
          Diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga, penulis berhasil membuat saya merasakan apa yang dirasakan oleh kedua tokoh utama. Tidak jarang saya senyum-senyum sendiri saat membaca beberapa adegan keromantisan antara Milly dan Keith.
Tokoh-tokoh dalam novel ini juga dibuat tidak berlebihan. 
  • Milly, seorang perempuan yang selalu mengikuti logikanya, memikirkan segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan, yang akhirnya sedikit membuang gengsinya saat bersama dengan Keith yang penuh spontanitas.
  • Keith, lelaki yang sempurna dengan tingkat percaya diri yang selangit. Selalu berusaha dengan keras mewujudkan keinginannya. Tokoh ini agak membuatku gemes dengan sifatnya yang berubah. Sebelum menikah, Keith mengejar-ngejar Milly, menunjukan jika dia berjuang keras untuk mendapatkan cintanya. Tetapi, saat sudah menikah, perjuangan itu seperti agak “kendor”. Keith tidak berani berbicara serius dengan Rachel, kakak perempuannya yang sudah terlalu ikut campur di kehidupan pernikahannya. Terkesan tidak tegas menyelesaikan permasalahan dalam pernikahannya.
  • Rafe dan Philip, dua sahabat Keith yang mempunyai dua sifat yang berlawanan. Namun, keduanya baik hati dan membantu menyadarkan Keith saat mulai kehilangan arah. Kedua tokoh ini, juga membuat novel ini berwarna dengan tingkah-tingkah usilnya. Saya berharap, suatu saat nanti kisah kedua sahabat Keith ini dibuatkan buku tersendiri. Hehe…
  • Rachel, kakak perempuan Keith yang overprotective. Tokoh yang selalu ikut campur dalam pernikahan Milly dan Keith. Jujur, saya tidak mengerti alesan Rachel tidak menyetujui pernikahan Keith dengan Milly.

Overall, saya jatuh cinta dengan novel ini dan rekomen untuk pembaca yang mencari tema tentang pernikahan. Saran untuk penerbit, seharusnya novel ini diberi tanda “novel dewasa” di kavernya, karena di dalamnya ada banyak adegan dewasa, walaupun tidak begitu vulgar.



Senin, 06 Juni 2016

[Resensi] ILY From 38.000 FT



Judul            : I Love You From 38.000 FT
Penulis         : Tisa TS dan Stanley Meulen
Penyunting   : Fitria dan Kafisilly
Penerbit       : Loveable
Terbit          : 2016
Tebal           : 192 Halaman, 18 cm
ISBN           : 978-602-6922-15-1


“Aku tau kenapa kamu marah, karena sekarang perasaan kamu udah berubah dan takut kehilangan aku”
 Aletta, liburan ke Bali untuk menghilangkan kepenatan pikirannya karena telah dijodohkan oleh orang tuanya. Pada ketinggian 38.000 kaki, di dalam pesawat, dia bertemu dengan Arga.


“Ketika langit menakdirkan aku dan kamu menjadi kita” (hal.25)

Mereka bertemu lagi saat Aletta melamar menjadi host  pengganti di salah satu program yang dikerjakan oleh Arga di Geography Channel.  Kebersamaan mereka menumbuhkan cinta diantara keduanya. Sebelum Aletta pulang kembali ke Jakarta, Arga berjanji akan segera menyusul dan bertemu dengan kedua orang tua Aletta.

“Al, aku akan datang temui orangtua kamu di Jakarta. Percaya sama aku! Kamu nggak akan menyesal memutuskan untuk pulang karena aku. Aku pasti kembali ke kamu.” (hal.135)

Selama satu tahun Aletta menunggu Arga, namun Arga tidak pernah datang. Akhirnya, Aletta terpaksa menerima pinangan dari Dhyto. Apakah Aletta akan menikah dengan Dhyto? Kenapa Arga tidak menepati janjinya kepada Aletta?

***

Ini pertama kali saya membaca karya Tisa TS. Siapa yang tidak mengenal Tisa TS? Penulis yang dua novel sebelumnya telah diangkat ke layar lebar,  Magic Hour (tahun 2015) dan London Love Story (2016) dan keduanya sukses. Rencananya juga novel ILY From 38.000 FT ini nanti akan difilmkan.
Saya sempat kaget saat membaca novel ini, karena gaya bahasa dalam novel ini terlalu remaja. Banyak bahasa “alay” anak remaja sekarang yang digunakan oleh tokoh-tokohnya. Penulis juga menceritakan dengan bahasa yang tidak baku, bahasa sehari-hari sehingga mudah dicerna, disesuaikan dengan target pembaca novel ini yang berusia remaja.
Ceritanya pun mudah ditebak. Kedua tokoh utama bertemu, lalu jatuh cinta. Sayangnya, cerita di novel ini tidak sampai selesai atau tamat. Karena pembaca diharuskan menonton filmnya untuk mengetahui bagaimana akhir cerita Aletta dan Arga. Sangat mengecewakan sekali. Padahal saya ingin mengetahui lebih dahulu bagaimana ceritanya sebelum menonton filmnya. Bahkan saya ikut PO-nya. Hiks… Mungkin novel ini dibuat, seperti “teaser” dalam bentuk buku, untuk mempromosikan film ini, agar pembaca semakin penasaran. Karena di novel ini, juga diselipkan gambar-gambar saat syuting berlangsung.
Kelebihan novel ini menurutku adalah, banyaknya quote-quote yang diselipkan di beberapa halaman. Dan aku acungi dua jempol untuk penulisnya yang memang pandai membuat quote.

“Jika dua hati tanpa cinta dipaksa untuk bersama, apakah bisa bahagia?” (hal.11)

“Saat aku merasa hampa dan tak punya pilihan, saat itu kamu pun datang.” (hal.38)

“Kamu cowok paling dingin yang pernah aku temui.Tapi, ada di sisi kamu selalu membuat hatiku sehangat matahari pagi.” (hal.67)

“Karena terkadang orang yang suka berlebihan nunjukin perasaan bahagianya justru orang yang berusaha menyembunyikan kesedihannya.” (hal.88)

“Ada beberapa hal dalam hidup ini yang terlalu indah buat kita abadikan dengan kamera… Ada yang cukup indah buat kita abadikan dengan hati aja.” (hal.117)

“Hal paling menyedihkan dalam hidup ini, saat aku nggak menemukan apa yang mampu membuat aku bahagia lagi.” (hal.137)

Overall novel ini sangat direkomendasikan unuk pembaca yang masih remaja, terutama Sahabat Tisa (sebutan untuk penggemar Tisa TS) dan Micheller (sebutan untuk penggemar Michelle Zudith, pemeran Aletta)




[Review & Giveaway] Blogtour The Boy Who Bought Me Breakfast During The Whole Year - Ikumisa

Judul: The Boy Who Bought Me Breakfasy During The Whole Year Penulis: Ikumisa Penerbit: Haru Terbit: Februari 2019 Tebal: 356 ISBN: ...